Self Respect

Oleh:

Umar Hamid Nugroho (2308015097)

Mahasiswa Aktif Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA

Self-respect atau harga diri, merupakan salah satu komponen fundamental dalam kesehatan mental dan pembentukan identitas diri seseorang. Konsep ini mencerminkan bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri dalam hal nilai, martabat, dan kelayakan untuk diperlakukan dengan hormat. Individu dengan self-respect yang sehat biasanya memiliki batasan personal yang jelas, mampu membuat keputusan secara mandiri, dan tidak mudah terpengaruh oleh tekanan dari luar. Secara psikologis, self-respect berperan penting dalam perkembangan emosi yang sehat serta kemampuan menjalin relasi interpersonal. Menurut Maslow (dalam Feist, 2021), hierarki kebutuhan manusia menempatkan self-esteem, yang mencakup self-respect, sebagai salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat mencapai aktualisasi diri. Maslow menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan ini akan memunculkan rasa percaya diri, kekuatan, dan kompetensi dalam diri individu.

Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa banyak individu, terutama remaja dan dewasa muda, mengalami krisis dalam hal self-respect. Kondisi tercermin dari meningkatnya prevalensi masalah kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, dan self-harm. Menurut World Health Organization (2022), sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi dan salah satu gejala umumnya adalah endahnya nilai atau penghargaan terhadap diri sendiri (low self-respect). Rendahnya self-respect menjadi salah satu indikator utama dalam diagnosis gangguan tersebut.

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa sekitar 6,1% penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental yang berkaitan dengan regulasi emosi. Gejala yang paling banyak dilaporkan antara lain rasa tidak berguna, rendah diri, serta kelelahan psikis. Semua ini merupakan manifestasi dari rendahnya self-respect.

Lebih jauh, Rogers (dalam Feist, 2021) menyatakan bahwa self-respect berkaitan erat dengan penerimaan diri (self acceptance), yaitu kemampuan seseorang untuk menerima dirinya secara utuh, termasuk kekurangan dan kegagalannya. Dalam pandangannya, seseorang yang mampu menerima diri dengan tulus justru lebih mampu berkembang secara positif: “The curious paradox is that when I accept myself just as I am, then I can change.” (Rogers, 1961).

Selain itu Immanuel Kant (dalam Bagnoli, 2020) juga menekankan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang harus dihormati, termasuk oleh dirinya sendiri. Konsep self-respect dalam pandangan ini tidak hanya bersifat psikologis, tetapi juga merupakan kewajiban moral terhadap diri sendiri. Self-respect memiliki beberapa komponen, seperti self-acceptance, moral self regard, setting boundaries, sense of worthiness, dan personal autonomy.

Komponen pertama adalah self acceptance. Self acceptance menjadi bagian penting dalam pembentukan self-respect karena merupakan kemampuan individu untuk menerima kelebihan dan kekurangannya tanpa menghakimi Rogers, 1961). Self acceptance memungkinkan seseorang untuk bertumbuh secara sehat tanpa terus-menerus merasa bersalah atau tidak cukup baik. Komponen ini menjadi dasar dari rasa hormat terhadap diri sendiri karena memvalidasi eksistensi dan pengalaman pribadi.

Komponen kedua adalah moral self-regard, yaitu kewajiban moral kepada diri sendiri untuk memperlakukan diri sebagai tujuan, bukan sebagai alat (Kant dalam Bagnoli, 2020). Pandangan ini menekankan pentingnya menghargai martabat diri secara etis dan tidak merendahkan diri demi kepentingan eksternal.

Komponen ketiga adalah setting boundaries. Menurut Hargrave (2000), individu yang menghargai dirinya sendiri akan tahu kapan mengatakan “tidak” dan kapan melindungi dirinya dari ancaman. Kemampuan ini penting dalam menjaga integritas dan kesejahteraan psikologis.

Komponen keempat adalah sense of worthiness. yakni perasaan layak untuk dicintai, dihargai, dan diberi ruang dalam kehidupan sosial. Menurut Neff (2011), perasaan layak ini berkaitan erat dengan self compassion, yaitu belas kasih terhadap diri sendiri, yang menjadi fondasi awal bagi terbentuknya self-respect.

Komponen kelima adalah personal autonomy, yaitu kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara mandiri, dengan menyadari serta menerima segala konsekuensi atas pilihan yang dibuat (Deci, 2000). Dalam filsafat eksistensialis dan humanistik, otonomi juga dianggap sebagai tanda kedewasaan moral. Individu yang memiliki self-respect tidak mudah dimanipulasi dan bertanggung jawab atas hidupnya sendiri.

Pada kenyataannya, pembentukan self-respect dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah pengalaman masa kecil. Pengalaman masa kecil terutama interaksi dengan orang tua, sangat memengaruhi bagaimana individu belajar menghargai dirinya sendiri. Pola asuh yang penuh empati, penghargaan, dan konsistensi cenderung mendorong anak membentuk self-respect yang kuat. Hal Ini sejalan dengan teori Horney (dalam Schultz, 2009 yang menyatakan bahwa pengalaman masa kecil sangat berpengaruh terhadap perkembangan diri individu dari berbagai aspek, khususnya terkait kebutuhan neurotik.

Selain pengalaman masa kecil, faktor lain seperti lingkungan sosial juga turut memengaruhi pembentukan self-respect. Individu yang memiliki dukungan sosial yang baik cenderung tumbuh dengan self-respect yang tinggi. Sebaliknya, jika individu tidak mendapatkan dukungan sosial dan berada di lingkungan yang abusif, hal tersebut dapat merusak self-respect yang dimilikinya. Teori social learning dari Bandura (dalam Feist, 2020) menyatakan bahwa interaksi sosial yang sehat berperan sebagai cermin eksternal bagi individu dalam menilai keberhargaan dirinya.

Dengan demikian, self-respect merupakan aspek penting yang perlu dimiliki dan dikembangkan oleh setiap individu, karena implikasinya sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari, seperti menjalin relasi sosial, menyelesaikan tugas dan pekerjaan, serta membentuk kesejahteraan psikologis dan kesehatan mental yang baik.

Oleh karena itu, dibutuhkan cara dan metode yang tepat dalam membentuk serta mengembangkan self-respect, seperti melakukan refleksi dan penerimaan terhadap diri sendiri, menetapkan batasan (setting boundaries), menjaga integritas dan konsistensi pribadi, serta mengikuti sesi terapi atau konseling profesional jika diperlukan.

Referensi

Bagnoli, C. (2020). “Kant on Recognition.” In Handbuch Anerkennung. Springer.

Deci, E. L. (2000). The “what” and “why” of goal pursuits: Human needs and the self-determination of behavior. Psychological Inquiry, 227–268.

Fest, G. J. (2021). Theories of personality. McGraw-Hill Education.

Hargrave, T. D. (2000). Forgiving the Devil: Coming to Terms with Damaged Relationships. . Augsburg Fortress.

Kant, I. (1996). Groundwork of the Metaphysics of Morals (M. Gregor, Trans.). . Cambridge University Press.

Neff, K. D. (2011). Self-Compassion: The Proven Power of Being Kind to Yourself. William Marrow

Organization, W. H. (2022). Depression. Retrieved from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression.

RI, K. K. (2018). Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Badan Litbangkes.

Rogers, C. (1961). On Becoming a Person: A Therapist’s View of Psychotherapy. . Houghton Mifflin.

Schultz, D. P. (2009). Theories of personality.

Leave a Comment