
Hari Skizofrenia Sedunia (World Schizophrenia Day/WSD) diperingati setiap tanggal 24 Mei sebagai upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap skizofrenia—gangguan mental yang memengaruhi lebih dari 20 juta orang di seluruh dunia. Peringatan ini bertujuan untuk mengurangi stigma negatif, serta mendorong kemudahan akses pengobatan dan dukungan bagi para penderita.
WSD juga menjadi momen penting untuk menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi oleh individu dengan skizofrenia dan keluarganya. Menurut informasi dari Only My Health, tanggal 24 Mei dipilih untuk mengenang jasa Philippe Pinel, seorang dokter asal Prancis yang dikenal sebagai tokoh perintis dalam perlakuan manusiawi terhadap pasien gangguan jiwa.
Sejarah Schizofrenia: Dari “Dementia Praecox” hingga Konsep Modern
Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang telah menarik perhatian para ilmuwan sejak abad ke-19. Awalnya, istilah ini dikenal dengan nama dementia praecox, yang diperkenalkan oleh Emil Kraepelin. Ia mengamati bahwa banyak anak muda mengalami gangguan mental yang lambat laun menyebabkan penurunan fungsi kognitif dan sosial. Kraepelin menyatukan berbagai bentuk gangguan seperti hebefrenia, katatonia, dan paranoia ke dalam satu kategori besar berdasarkan pola penurunan fungsi jangka panjang. Kemudian, psikiater Swiss bernama Eugen Bleuler mengganti istilah tersebut menjadi schizophrenia, yang berarti “pemisahan pikiran”, dan menekankan bahwa gangguan ini bukan satu penyakit tunggal, melainkan sekelompok kondisi yang memiliki ciri-ciri umum. Bleuler juga membedakan antara gejala dasar seperti pikiran kacau dan menarik diri dari realitas, serta gejala tambahan seperti halusinasi dan delusi.
Seiring waktu, berbagai pendekatan baru dikembangkan untuk memahami skizofrenia, termasuk pembagian menjadi tipe positif dan negatif, serta klasifikasi berdasarkan gejala dan perjalanan penyakit. Meskipun begitu, hingga kini belum ditemukan satu pun penanda biologis atau genetik yang dapat memastikan diagnosis skizofrenia secara akurat. Karena itu, para peneliti mulai mengeksplorasi konsep endofenotipe, yaitu ciri-ciri turunan seperti gangguan kognitif atau perubahan struktur otak yang bisa menjadi petunjuk risiko. Meskipun skizofrenia tetap menjadi misteri dalam banyak hal, pemahaman kita terhadap gangguan ini terus berkembang, membuka peluang untuk pendekatan diagnosis dan pengobatan yang lebih baik di masa depan
Epidemiologi Skizofrenia
Menurut data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2011, sekitar 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan jiwa, dengan sepertiganya berasal dari negara-negara berkembang. WHO juga menyatakan bahwa risiko seseorang mengalami gangguan mental cukup tinggi, yaitu satu dari empat orang bisa mengalaminya (WHO, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Harvard University dan University College London pada tahun 2016 juga menunjukkan bahwa gangguan mental menyumbang sekitar 32% dari total beban disabilitas global, dan angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, 2013, dan 2018 menunjukkan bahwa prevalensi skizofrenia mengalami fluktuasi. Pada tahun 2007, angka prevalensi gangguan jiwa dengan diagnosis skizofrenia sebesar 4,1 per mil, menurun menjadi 1,7 per mil pada 2013, dan kembali naik tajam menjadi 7 per mil pada tahun 2018. Provinsi Bali mencatat prevalensi tertinggi sebesar 11 per mil, jauh di atas angka nasional. Sementara itu, di Nusa Tenggara Barat (NTB), tercatat sekitar 10% dari 1.000 orang menderita skizofrenia, menjadikannya sebagai provinsi dengan jumlah kasus tertinggi ketiga setelah Bali dan Yogyakarta.
Skizofrenia lebih banyak dialami oleh laki-laki, dengan estimasi sekitar 12 juta penderita dibandingkan dengan 9 juta perempuan. Umumnya, gejala pertama kali muncul pada laki-laki usia 15–24 tahun, sedangkan pada perempuan antara 25–35 tahun. Laki-laki juga cenderung mengalami gangguan kognitif yang lebih berat dan hasil pengobatan yang kurang baik dibandingkan perempuan (Putri et al., 2022).
Faktor gender juga berperan dalam risiko gangguan jiwa. Laki-laki, yang sering menjadi tulang punggung keluarga, lebih rentan terhadap tekanan hidup, sehingga lebih mudah mengalami gangguan jiwa. Sebaliknya, perempuan dinilai memiliki kemampuan lebih dalam menerima kondisi hidup, sehingga berisiko lebih rendah. Secara umum, risiko seseorang mengalami skizofrenia seumur hidupnya berkisar sekitar 0,85%, dengan puncak kejadian pada masa remaja akhir hingga awal masa dewasa (Zahnia & Sumekar, 2016).
Etiologi Skizofrenia
Hingga saat ini, penyebab pasti skizofrenia belum diketahui secara menyeluruh. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa gangguan ini berkaitan dengan perubahan struktur dan fungsi otak. Pada penderita skizofrenia, ditemukan penyusutan pada bagian tertentu dari otak yang ukurannya menjadi lebih kecil dari normal.
Skizofrenia diyakini muncul akibat kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan diketahui memainkan peran penting, dengan estimasi risiko gangguan ini dalam populasi umum AS berkisar antara 0,6% hingga 1,9% . Jika seseorang memiliki kedua orang tua yang menderita skizofrenia, maka risikonya untuk mengalami gangguan yang sama mencapai sekitar 40%. Pada kasus anak kembar monozigot, apabila salah satunya terdiagnosis skizofrenia, maka kemungkinan kembarannya juga akan terkena gangguan ini mencapai sekitar 50%.
Gejala-gejala negatif pada penderita skizofrenia
Gejala negatif pada penderita skizofrenia mencerminkan hilangnya fungsi normal yang seharusnya dimiliki seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk yang paling sering ditemui adalah kesulitan dalam berpikir atau berbicara secara jelas. Penderita tampak lambat dalam merespons dan seringkali tidak mampu menyusun kalimat dengan runtut, yang membuat komunikasi menjadi terganggu.
Selain itu, penderita juga mengalami penurunan kemampuan untuk merasakan kesenangan dalam aktivitas yang biasanya menyenangkan. Mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial, merasa terasing dari diri sendiri maupun orang lain, dan kerap kali merasakan ketidakberdayaan (Ikawati, 2014).
Dorongan atau motivasi untuk melakukan sesuatu pun ikut menghilang. Penderita terlihat tidak memiliki inisiatif, tidak bersemangat, dan tampak sangat pasif. Segala sesuatu dijalani dengan datar, tanpa antusiasme, bahkan untuk hal-hal yang penting dalam hidup mereka.
Perubahan juga terjadi pada ekspresi emosi. Penderita skizofrenia sering menunjukkan perasaan yang tumpul dan datar. Ekspresi wajah mereka nyaris tidak berubah dan tanggapan emosional yang diberikan sangat minim, meskipun sedang berada dalam situasi yang secara emosional signifikan. Bahkan dalam kondisi yang seharusnya memunculkan tangisan, tawa, atau kemarahan, mereka bisa saja tidak menunjukkan reaksi apapun.
Gejala-gejala ini umum ditemukan pada kasus skizofrenia kronis dan menjadi salah satu indikator kuat bahwa penderita mengalami kesulitan mendalam dalam merespons dunia sekitarnya secara emosional maupun sosial. Kehidupan sehari-hari mereka menjadi sangat terbatas, tidak hanya oleh gangguan dalam berpikir, tetapi juga oleh hilangnya rasa dan motivasi.
Kesimpulan
Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Gangguan ini bukan penyakit baru, dan sudah dikenal sejak abad ke-19 dengan nama dementia praecox sebelum akhirnya disebut skizofrenia. Meskipun gejalanya bisa berbeda-beda pada setiap orang, penderita umumnya mengalami kesulitan memahami realitas, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga kehilangan semangat hidup.
Penyebab pasti skizofrenia belum diketahui, namun para ahli percaya bahwa gabungan antara faktor genetik, lingkungan, dan perubahan pada otak berperan penting. Skizofrenia lebih banyak dialami oleh laki-laki, dan sering muncul pada masa remaja atau awal dewasa.
Gejalanya dibagi menjadi dua: gejala positif seperti halusinasi dan delusi, serta gejala negatif seperti kehilangan motivasi, perasaan datar, dan kesulitan berbicara. Karena belum ada tes khusus untuk memastikan diagnosis, penanganannya membutuhkan observasi yang cermat dan berkelanjutan.
Meskipun belum ada obat untuk menyembuhkan sepenuhnya, pengobatan dan dukungan dari keluarga serta lingkungan bisa membantu penderita menjalani hidup dengan lebih baik. Semakin banyak penelitian yang dilakukan, semakin besar harapan untuk menemukan cara pengobatan yang lebih efektif di masa depan.
Referensi
Jablensky, A. (2010). The diagnostic concept of schizophrenia: Its history, evolution, and future prospects. Dialogues in Clinical Neuroscience, 12(3), 271–287. https://www.dialogues-cns.org/
WHO. 2011. The World Report : Mental Health : New Understanding New Hope, Geneva: S.N.
Ikawati, Z. 2014. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Yogyakarta: Bursa Ilmu.
Zahnia, S., dan Sumekar. D.W. 2016. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. J Majority, Vol. 5. No.4.
Putri, I. A., Amnan, & Maharani, B. F. (2022). Skizofrenia: Suatu studi literatur. Journal of Public Health and Medical Studies, 1(1), 1–12.